BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar
belakang
Daging merupakan bahan pangan yang
penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada
daging terdapat pula kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah
dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung
beberapa jenis mineral dan vitamin.
Karakteristik
kualitas daging merupakan karakteristik yang dinilai oleh konsumen dalam
memenuhi palatabilitasnya, berkaitan dengan penilaian sensorik atau
organoleptik. Kualitas daging atau bahan pangan pada umumnya, dinilai oleh
konsumen pada awalnya melalui pendekatan organ-organ panca indera. Sehingga
karakteristik kualitas pada daging menyangkut warna, keempukan, citarasa (flavour),
dan kebasahan (juiciness). Secara organoleptik (sensorik), warna
dinilai oleh organ penglihatan, keempukan dinilai melalui perabaan dan
pencicipan (gigi, tangan, dan lidah), citarasa dinilai melalui pencicipan dan
penciuman (lidah dan hidung), dan kebasahan dinilai oleh pencicipan (lidah).
Karakteristik kualitas ini sering pula disebut sebagai eating quality
(kualitas makan). Penilaian karakteristik kualitas ini yang pada awalnya
dinilai oleh konsumen secara organoleptik, berkembang menjadi penilaian dengan
menggunakan peralatan untuk menghindari subyektifitas. Namun demikian para
pakar dibidang organoleptik menyatakan bahwa justru penilaian dengan
menggunakan alatlah yang lebih subyektif karena alat merupakan imitasi dari
organ-organ panca indera yang digunakan lebih awal dalam penilaian tersebut.
Alat yang dipergunakan untuk menilai keempukan daging diciptakan melalui
imitasi dari kemampuan gigi geligi (geraham) dalam melakukan gigitan pertama
dan selama pengunyahan pada daging. Pendekatan statistik melalui penggunaan
sejumlah panelis terlatih dan pengulangan berulang kali dalam penilaian
kualitas secara sensorik/organoleptik dimaksudkan adalah untuk lebih
mengobjektifkan hasil penilaian tersebut.
Penentuan
harga pada saat jual beli ternak siap potong, umumnyadidasarkan pada taksiran
pada saat ternak masih hidup, meskipun dibeberapa tempat terutama ternak besar,
penentuan harga ditentukan olehberat karkas yang dihasilkan oleh ternak yang
bersangkutan. Bila hargaternak hidup ditentukan berdasarkan penaksiran, maka
pembeli harus sudahbisa memperkirakan berapa banyak karkas yang akan didapat,
berapa nilaidari hasil ikutan seperti kulit, jeroan dan sisa karkas
lainnya.Penampilan ternak saat hidup mencerminkan produksi dan
kualitaskarkasnya. Ketepatan penaksir dalam menaksir nilai ternak tergantung
padapengetahuan penaksir dan kemampuan menterjemahkan keadaan dariternak itu
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak
yang akan dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu (1) ternak harus
dalam keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit, (2) ternak harus cukup
istirahat, tidak diperlakukan kasar, serta tak mengalami stres agar kandungan
glikogen otot maksimal, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat
dan sesempurna mungkin, (4) cara pemotongan harus higienis.
1.2 Ruang
lingkup isi
Penulis disini membahas tentang kualitas daging
secara umum yang dipengaruhi oleh factor sebelum pemotongan maupun setelah
pemotongan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kualitas karkas
dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor
sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik,
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif
(hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah pemotongan yang
mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi
listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling,
metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot
daging. Faktor kualitas daging yang
dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma
termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness).
Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu
berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan
dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging.
2.1 Faktor Sebelum pemotongan
Kualitas
daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies,
bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif (hormon,
antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres.
a.
Genetic/Keturunan
Nilai
heritabilitas keempukan daging sapi sekitar 45%, artinya
45% keempukan daging sapi saat dimasak ditentukan oleh faktor
genetik atau tetua ternak yang dipotong. Faktor genetik akan menentukan keempukan daging antargrade dan potongan daging sejenis.
45% keempukan daging sapi saat dimasak ditentukan oleh faktor
genetik atau tetua ternak yang dipotong. Faktor genetik akan menentukan keempukan daging antargrade dan potongan daging sejenis.
b.
Spesies
Dari
taksonomi ternak yang paling diperhatikan yaitu spesiesnya, karena spesies
menentukan apakah ternak tersebut banyak dipelihara di Indonesia, mampu
memproduksi daging atau susu, serta mempunyai produksi daya adaptasi yang
tinggi, dan sebagainya. Spesies
menentukan tingkat perdagingan suatu ternak.
c.
Bangsa
Bangsa
ternak termasuk kedalam factor genetic atau factor keturunan. Bangsa suatu ternak juga menentukan kualitas
suatu daging ternak itu sendiri.
Misalnya ternak sapi-sapi introduksi, seperti: 1) sapi limousine,
persentase daging dalam karkas cukup tinggi, 2) sapi angus, mempunyai kemampuan
dalam menurunkan marbling (perlemakan dalam daging) ke anak-anaknya. 3) sapi
Hereford, perdagingannya tebal. Dan sebagainya.
Jadi
dilihat dari bangsa ternak itu sendiri sangat penting dalam mennentukan
kualitas daging.
d.
Tipe ternak
Tipe
ternak menentukan keempukan daging itu sendiri, seperti tipe ternak potong dan tipe ternak perah. Tipe ternak potong lebih empuk daripada tipe ternak
perah. Karena tipe ternak potong itu
sendiri dipelihara untuk menghasilkan daging, dan sebaliknya.
e.
Umur
Semakin
tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga daging yang
dihasilkan semakin liat, jika ditekan dengan jari, daging yang sehat akan
memiliki konsistensi kenyal (padat) (Tambunan, 2010).
Umumnya
daging yang berasal dari sapi tua akan lebih liat dibandingkan dengan daging
yang berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun menunjukkan bahwa umur potong
sapi berkorelasi positif dengan keempukan daging yang dihasilkannya, artinya
makin tua ternak sudah dapat dipastikan dagingnya akan lebih liat. Daging yang
berasal dari sapi tua baunya lebih menyengat dibandingkan dengan daging yang
berasal dari sapi muda. Namun pada kenyataannya, kuat lemahnya bau daging pada
sapi tidak dipermasalahkan konsumen, lain halnya dengan daging domba dan daging
kambing, karena kedua ternak kecil ini bau dagingnya sangat unik dan lebih kuat
dibandingkan dengan sapi. Oleh karena itu konsumen daging domba atau kambing
lebih menyukai daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi tua yang gemuk
akan menghasilkan daging yang berlemak oleh karena itu rasanya akan lebih gurih
dan banyak disukai konsumen. Selain itu daging yang berlemak kandungan airnya lebih
sedikit sehingga pada saat dimasak penyusutannya tidak terlalu besar.
Umur ternak saat dipotong berpengaruh terhadap keempukan daging. Sapi
yang dipotong pada umur 9-30 bulan umumnya memiliki daging yang empuk. Sapi
betina yang digunakan sebagai induk, dagingnya menjadi kurang empuk saat
umurnya tua. Keempukan daging menurun sejalan dengan bertambahnya umur ternak.
f.
Pakan dan Bahan Aditif (Hormone, Antibiotic,
dan Mineral)
Ternak yang digemukkan dengan pakan biji-bijian cenderung mencapai bobot
potong lebih cepat dibanding ternak yang mendapat pakan dari padang
penggembalaan.
Dengan demikian, daging dari ternak yang diberi pakan biji-bijian
biasanya lebih empuk karena ternak dipotong pada umur lebih muda.
Dengan demikian, daging dari ternak yang diberi pakan biji-bijian
biasanya lebih empuk karena ternak dipotong pada umur lebih muda.
g.
Keadaan Stress
·
DFD (Dark Firm Dry)
Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu
daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi
dan daya mengikat air tinggi (Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan
akibat ternak kelelahan setelah mengalami transportasi yang jauh, sehingga
terjadi perubahan dalam sifat fisik, kimia maupun sensori (Wulf et al.,
2002).Menurut Taylor (1984), pigmen yang memberikan warna pada daging adalah
struktur hem. Hem ini berkombinasi dengan protein membentuk hemoglobin dan
mioglobin. Munculnya warna merah cerah pada daging disebabkan oleh adanya
ikatan oksigen pada atom besi (Fe2+) pada struktur molekul mioglobin.Perbedaan
warna daging disebabkan oleh adanya H2O2 dan enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme. Senyawa H2O2 menyebabkan oksidasi oksimioglobin menjadi
metmioglobin yang berwarna coklat (Varnam & Sutherland,1995). Kandungan
H2O2 yang dihasilkan oleh bakteri yang memfermentasi secara alamiah kemungkinan
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah H2O2 yang dihasilkan olehL . plantarum
selama memfermentasi daging. Hal ini menyebabkan warna daging terfermentasi
alamiah lebih gelap dibandingkan dengan daging difermentasi L. plantarum.
·
PSE (Pale Soft Exudatife)
Daging PSE (Pale Soft Exudative)
disebabkan Stress dalam waktu yang lama sebelum penyembelihan shg pH tetap
tinggi stlh penyembelihan. Produksi asam laktat postmortem dari glikogen yang
sangat cepat dan tidak terkendali, sehingga mengakibatkan pH daging yang sangat
rendah sesaat setelah pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi.
Daya ikat air oleh proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, seperti
pada saat pemecahan ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan
menurunkan DIA protein (Bendall, 1960). Demikian pula suhu yang tinggi akan
mempercepat penurunan pH otot pascamerta, dan akan meningkatkan penurunan DIA
sebagai akibat dari meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya
perpindahan air keruang ekstraselular.
2.2 Faktor Setelah
Pemotongan
Faktor
setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan,
metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim
pengempuk daging), lemak intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan
pengawetan, macam otot daging, serta lokasi otot.
a.
Metode Pelayuan
Pelayuan adalah penanganan daging
segar setelah penyembelihan dengan cara menggantung atau menyimpan selama waktu
tertentu pada temperatur di atas titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita
beli di pasar atau swalayan adalah daging yang telah mengalami proses pelayuan.
Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim
yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih dapat mengikat
air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat.
Hewan yang baru dipotong dagingnya
lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan sehingga jaringan otot
menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut
dengan rigor mortis.
Dalam kondisi rigor, daging menjadi
lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu,
jika daging dalam keadaan rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk
menghindarkan daging dari rigor, daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan
proses rigornya sendiri. Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan). Daging biasanya dilayukan dalam bentuk karkas
atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi luas permukaan yang
dapat diinfeksi oleh mikroba.
Tujuan dari pelayuan daging adalah:
(1) agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung sempurna
sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat, (2) pengeluaran darah menjadi
lebih sempurna, (3) lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi
mikroba pembusuk dari luar dapat ditahan, (4) untuk memperoleh daging yang
memiliki tingkat keempukan optimum serta cita rasa khas.
b.
Metode Pemasakan
Daging dengan jaringan ikat sedikit seperti has, dianjurkan dimasak
dengan pemanasan kering (goreng, bakar, panggang, barbeque). Daging dengan
jaringan ikat banyak seperti sengkel, dianjurkan dimasak secara lama dan lambat
dengan suhu rendah dan menggunakan sedikit air.
Suhu pemasakan memengaruhi keempukan daging. Jika daging tanpa lemak
dipanaskan, protein kontraktil mengeras dan cairan hilang sehingga menurunkan
keempukan daging. Potongan daging yang
empuk bila dimasak pada suhu rendah akan menjadi lebih empuk dibanding
pemasakan pada suhu sedang, dan dengan pemasakan suhu sedang, daging lebih
empuk dibanding pemasakan dengan suhu tinggi. Oleh karena itu, suhu pemasakan
perlu diperhatikan untuk menghasilkan daging yang empuk.
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin besar
kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan
indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu
banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging
merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging (Soeparno,
1992).
c.
Tingkat Keasaman (pH) Daging
Nilai pH merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas daging,
khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan (hewan
telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam
jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya aliran darah
ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses
yang terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot setelah
kematian (36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah proses glikolisis
anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob ini, selain
dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam laktat
tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan penurunan nilai
pH jaringan otot.
Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang
disebut daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah
hewan disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat
adanya akumulasi asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan yang
sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara
bertahap, yaitu dari nilai pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH
menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam
postmortem dan akan mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH
akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah yang dicapai pada
otot setelah pemotongan (kematian). Nilai pH daging tidak akan
pernah mencapai nilai di bawah 5,3. Hal ini disebabkan karena pada nilai
pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif
berkerja. (Lukman, 2010)
d.
Bahan Tambahan (Termasuk Enzim Pengempuk
Daging)
Enzim
dari tanaman, seperti papain (dari pepaya), bromelin (dari nenas), dan fisin
(getah pohon daun ara), baik berbentuk cair maupun bubuk, dapat digunakan untuk
mengempukkan daging. Kelemahan enzim ini adalah kadang-kadang hanya bereaksi
pada permukaan daging, selain berpengaruh negatif terhadap sifat daging.
Papain dari getah pepaya paling banyak digunakan sebagai pengempuk daging. Kualitas getah sangat menentukan aktivitas enzim proteolitik, dan kualitas enzim bergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Aktivitas enzim dipengaruhi
oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain
stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap
panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta aktivitas proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.
Papain dari getah pepaya paling banyak digunakan sebagai pengempuk daging. Kualitas getah sangat menentukan aktivitas enzim proteolitik, dan kualitas enzim bergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Aktivitas enzim dipengaruhi
oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain
stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap
panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta aktivitas proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.
Enzim
bromelin dari nenas juga banyak digunakan untuk mengempukkan daging. Enzim
bromelin dapat menguraikan serat-serat daging sehingga menjadi lebih empuk.
Buah nenas yang belum matang mengandung bromelin lebih sedikit dibandingkan
buah nenas matang yang masih segar. Kandungan bromelin paling banyak terdapat
dalam bagian kulit.
Marinasi
adalah cara meningkatkan keempukan daging dengan menambahkan bahan perasa,
seperti garam atau kecap, asam (cuka, jeruk lemon), dan enzim (papain,
bromelin, fisin atau jahe). Penambahan beberapa sendok makanminyak zaitun akan
melindungi permukaan daging dari udara dan daging akan tetap segar dan warnanya
lebih cerah dalam waktu lebih lama. Dengan marinasi terjadi pelunakan kolagen
oleh garam, meningkatnya pertahanan air, hidrolisis serta pemecahan ikatan
silang jaringan ikat oleh asam.
e.
Lemak Intramuscular (Marbling)
Berdasarkan
marbling, karkas sapi dibedakan menjadi: 1) prime, bila marbling-nya berlebih,
2) choice, bila marbling-nya sedang, 3) seledt, bila marbling-nya sedikit, 4)
standart, bila marbling-nya sangat sedikit.
Marbling
adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot (intramuscular). Lemak
berfungsi sebagai pembungkus otot dan mempertahankan keutuhan daging pada waktu
dipanaskan. Marbling berpengaruh terhadap citarasa daging. Selama proses
penggemukan, peningkatan lemak karkas akan mempengaruhi komposisi karkas dan
hasil daging (Priyanto et al., 1999).
f.
Metode Penyimpanan dan Pengawetan
Ada
beberapa yang dilakukan dalam menentukan kualitas daging dengan metode
penyimpanan dan pengawetan, antara lain sebagai berikut:
1) Laju
Pendingin
Karkas sebaiknya cepat didinginkan setelah
pemotongan untuk mencegah penurunan kualitas. Jika karkas didinginkan sebentar,
hasilnya adalah pendinginan singkat dan menyebabkan daging keras/alot.
Pendinginan singkat terjadi pada saat otot didinginkan
kurang dari 60°F sebelum rigor mortis selesai. Jika karkas dibekukan sebelum rigor mortis selesai, hasilnya adalah rigor cair (thaw rigor) dan daging menjadi keras/alot. Pada kondisi pendinginan normal, karkas yang terlindungi lemak sekitar rib eye kurang dari 1,2 cm mungkin akan menurunkan keempukan karena pendinginan singkat. Pelayuan karkas hasil pendinginan singkat atau rigor cair dapat memengaruhi keempukan. Agar daging lebih empuk, harus dihindari pendinginan singkat, 6-12
jam pertama setelah ternak dipotong (mati).
kurang dari 60°F sebelum rigor mortis selesai. Jika karkas dibekukan sebelum rigor mortis selesai, hasilnya adalah rigor cair (thaw rigor) dan daging menjadi keras/alot. Pada kondisi pendinginan normal, karkas yang terlindungi lemak sekitar rib eye kurang dari 1,2 cm mungkin akan menurunkan keempukan karena pendinginan singkat. Pelayuan karkas hasil pendinginan singkat atau rigor cair dapat memengaruhi keempukan. Agar daging lebih empuk, harus dihindari pendinginan singkat, 6-12
jam pertama setelah ternak dipotong (mati).
2) Pembekuan
Pembekuan kurang memengaruhi keempukan daging. Bila daging
dibekukan secara cepat akan terbentuk kristal es kecil, dan bila
daging dibekukan lambat/lama akan terbentuk kristal es besar. Terbentuknya kristal es besar dapat mengganggu serat otot daging sehingga sangat sedikit meningkatkan keempukan. Kristal es yang besar dapat menurunkan cairan daging selama
thawing (pencairan). Daging yang kurang berair akan kurang empuk jika dimasak.
dibekukan secara cepat akan terbentuk kristal es kecil, dan bila
daging dibekukan lambat/lama akan terbentuk kristal es besar. Terbentuknya kristal es besar dapat mengganggu serat otot daging sehingga sangat sedikit meningkatkan keempukan. Kristal es yang besar dapat menurunkan cairan daging selama
thawing (pencairan). Daging yang kurang berair akan kurang empuk jika dimasak.
3)
Thawing
Daging beku yang sudah mengalami pencairan secara lambat dalam
refrigerator umumnya lebih empuk dibanding yang dimasak dalam kondisi beku. Pencairan secara lambat mengurangi kekerasan dan jumlah cairan daging yang hilang. Pencairan menggunakan microwave hendaknya dilakukan dengan daya yang rendah.
refrigerator umumnya lebih empuk dibanding yang dimasak dalam kondisi beku. Pencairan secara lambat mengurangi kekerasan dan jumlah cairan daging yang hilang. Pencairan menggunakan microwave hendaknya dilakukan dengan daya yang rendah.
Akibat proses pengolahan dan komponen bumbu yang digunakan, beberapa
produk olahan tersebut memiliki nilai gizi lebih baik dibandingkan dengan
daging segarnya. Produk olahan daging tersebut dapat juga digunakan sebagai
alternatif sumber protein hewani.
g. Macam
Otot Daging
Keempukan daging bervariasi sesuai dengan jenis otot atau letak
daging pada karkas. Contoh, daging sapi jenis has dalam lebih empuk dibanding daging sengkel karena adanya perbedaan jaringan ikat pada jenis daging tersebut. Has dalam memiliki jaringan ikat yang lebih sedikit dibandingkan dengan sengkel. Jumlah jaringan ikat berkaitan dengan fungsi otot pada ternak hidup. Sengkel terutama digunakan dalam pergerakan sehingga memiliki jaringan ikat lebih banyak. Sementara itu, has dalam hanya mendukung fungsi ternak sehingga jaringan ikatnya lebih sedikit
daging pada karkas. Contoh, daging sapi jenis has dalam lebih empuk dibanding daging sengkel karena adanya perbedaan jaringan ikat pada jenis daging tersebut. Has dalam memiliki jaringan ikat yang lebih sedikit dibandingkan dengan sengkel. Jumlah jaringan ikat berkaitan dengan fungsi otot pada ternak hidup. Sengkel terutama digunakan dalam pergerakan sehingga memiliki jaringan ikat lebih banyak. Sementara itu, has dalam hanya mendukung fungsi ternak sehingga jaringan ikatnya lebih sedikit
h.
Lokasi Otot
Menurut
Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya
pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang
terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot yang memendek menjelang
rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan
lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga
daging menjadi alot (Soeparno, 1994). Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa
peregangan otot atau pencegahan terhadap pengerutan otot akan meningkatkan
keempukan daging, karena panjang sarkomer miofibril meningkat. Penggantungan
karkas dapat meningkatkan panjang sejumlah otot sehingga daging menjadi empuk.
Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh tekstur daging. Semakin halus
teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005).
Kontribusi
jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan
muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan
penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot (Boccard dkk.,
1967).
thanks, bisa nambah referensi nih..
BalasHapussyyyip
BalasHapusthanks yaaa
BalasHapusmakasih ya
BalasHapustrimakasiih sahabat,bisa nambah referensi nih.
BalasHapus